Oleh : Roni Banase
Kamis, 7 Desember 2023 merupakan kali kedua saya berada di Medan, Sumatra Utara. Kedatangan saya ke kota yang terkenal dengan ikonik “Horas” ini untuk mengikuti seremoni pelantikan Dewan Pengurus Wilayah (DPW) Ikatan Media Online (IMO) Indonesia Provinsi Sumatra Utara periode 2023—2028.
Lima tahun sebelumnya, pada kisaran Oktober 2018, saya mengikuti perhelatan temu nasional PUSPA (partisipasi publik untuk kesejahteraan perempuan dan anak) yang diinisiasi Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPA) Republik Indonesia, Prof. Dr. Yohana Yembise (salah satu perempuan terbaik asal Papua).
Menapaki kota Medan dengan segala serba-serbinya menggelitik saya untuk menelusuri kota terbesar keempat di Indonesia setelah Jakarta, Surabaya dan Bandung. Terletak di Sumatra Utara, Medan memiliki populasi sekitar 2,5 juta jiwa dengan luas wilayah 265,00 km². Kota ini adalah pusat ekonomi dan perdagangan di wilayah Sumatra.
Kota Medan merupakan wilayah dengan penduduk terbanyak di Sumatra Utara, yakni 2,54 juta jiwa (16,39%) dari total penduduk. Kemudian, Kab. Deli Serdang dengan jumlah penduduk 2,03 juta jiwa (13,13%), Kab. Langkat 1,1 juta jiwa (7,13%).
Ada yang menganggap Medan sebagai salah satu kota yang punya kehebatan pada bidang kuliner. Namun, penduduk kota Medan justru terkenal sebagai orang yang bar-bar, yang kalau berbicara selalu dengan suara keras atau nada tinggi. Hal itu dikarenakan adanya logat Batak yang kental.
Sering kali orang luar daerah sering mengira bahwa kota Medan adalah kota dengan populasi suku Batak terbanyak. Padahal, sejarah yang ada di Medan justru tidak lepas dari peradaban Melayu.
Mengapa demikian?
Secara historis, Medan merupakan wilayah Kesultanan Deli; sebuah kesultanan Melayu. Itu sebabnya, Medan juga sering dikenal sebagai Tanah Deli. Adapun bukti sejarah yang sangat terkenal di Medan adalah Masjid Raya Al Mahsun dan Istana Maimun. Jadi, pada masa-masa sebelum Medan resmi didirikan, cerita pada saat itu dipegang oleh orang-orang Melayu Deli.
Meskipun demikian, sebagai etnis asli, sekarang ini Melayu tidak menjadi suku yang mendominasi Medan. Sebab dominasi budaya Melayu pelan-pelan luntur setelah Revolusi Sosial pasca kemerdekaan; terjadi migrasi masif oleh suku Batak ke Medan. Hingga jumlah yang menetap mengalami peningkatan dari 0,2 persen menjadi 11 persen.
Namun, bukan hanya orang-orang dengan suku Batak saja, suku-suku lain dari luar provinsi seperti Jawa, Aceh, dan Minangkabau juga ramai bermigrasi. Belum lagi para pendatang dari luar seperti Tionghoa, Arab dan India. Hal tersebut menjadikan Kota Medan sebagai kota yang juga kaya akan suku-bangsa.
Mengapa suku yang selalu diidentikkan dengan Medan justru suku Batak?
Dilansir dari GoodNews, sama seperti Jakarta yang menjadi pusat sentral karena kedudukannya sebagai ibu kota, Medan merupakan ibu kota di Sumatra Utara. Oleh karena itu, para penduduk dari kota-kota kecil atau pinggiran ibu kota menjadikan Medan sebagai tempat potensial untuk mencari pekerjaan.
Jadi, seolah sudah menjadi budaya bagi penduduk dari lokasi suku Batak berasal seperti Samosir, Tapanuli, Simalungun, dan lain sebagainya untuk merantau ke Medan. Adanya perantauan tersebut akhirnya membuat Medan dihuni oleh orang-orang bersuku Batak, hingga seiring berjalannya waktu ciri khas mereka ikut mendominasi masyarakat suku lain yang ada di Medan.
Selain itu, perantauan mereka ke kota lain selain Medan turut andil dalam pembentukan citra bahwa suku di Medan adalah Batak.(*)