Perjuangan Siswa di Pedalaman NTT, Seberangi Sungai Demi Sekolah

Loading

Akses menuju sekolah tidaklah mudah, apalagi saat musim hujan, lantaran harus menyeberangi sungai dengan ketinggian air minimal 30 sentimeter. Tak jarang, kadang seragam sekolah yang dikenakan basah.

 

Manggarai | Para siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) Satap Benteng Sipi asal Dusun Baja, Desa Benteng Pau, Kecamatan Elar Selatan, Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), terpaksa menyeberangi arus sungai demi sekolah. Sekolah mereka terletak di Kampung Nio Desa Golo Wuas, sekitar 4 kilometer dari kampung itu.

Akses menuju sekolah tidaklah mudah, apalagi saat musim hujan, lantaran harus menyeberangi sungai dengan ketinggian air minimal 30 sentimeter. Tak jarang, kadang seragam sekolah yang dikenakan basah.

Siswa semakin kesulitan, terutama saat musim hujan, mengingat belum ada jembatan yang dibangun di sungai tersebut. Saat musim hujan, ketinggian air sungai mencapai 3 meter. Mereka pun terpaksa meliburkan diri. Namun, ada siswa yang terkadang mengambil jalan penuh risiko. Ada juga yang menunggu hingga air surut, hingga terlambat masuk sekolah.

Denis (15), siswa asal Dusun Baja mengungkapkan, hampir setiap kali musim hujan, mereka tidak ke sekolah. Ia dan beberapa siswa di dusun itu memilih belajar dari rumah.

“Tapi kalau kami tidak ke sekolah, kami tidak dapat materi pembelajaran dari bapak ibu guru,” ujarnya sembari menuturkan, setiap pagi ia bersama teman-temannya berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki.

Setibanya di tepi Sungai Wae Pekas, mereka harus mengganti seragam sekolah dengan pakaian rumahan. “Kami dari rumah itu tidak pakai sepatu, kami juga harus kenakan pakaian lain. Nanti kalau sudah lewat kali baru ganti seragam sekolah,” ucap Denis, pada Sabtu, 9 Agustus 2025.

Denis mengungkapkan, saat hendak melintasi sungai selalu diselimuti perasaan cemas dan takut. Terlebih saat musim hujan tiba. Itu sebabnya, jika banjir besar, mereka memilih tidak ke sekolah.

Menurut Denis, ketiadaan jembatan menjadi salah satu kendala utama yang mereka hadapi. Dia berharap pemerintah bisa membangun jembatan, agar mereka tidak takut dan cemas saat ke sekolah.

Warga Dusun Baja, Antonius Dion, mengakui bahwa ketiadaan jembatan menghambat akses siswa menuju sekolah, terutama saat musim hujan.

“Saat musim penghujan, siswa asal Dusun Baja terpaksa kadang tidak berangkat sekolah karena membahayakan keselamatan mereka,” kata dia.

Menurut Antonius, kondisi ini juga berpengaruh terhadap perekonomian warga yang pada umumnya bermata pencaharian sebagai petani. Ketika musim hujan, mereka pun tidak dapat melewati sungai menuju ke kebun.

Setiap tahun segenap warga bergotong royong membangun jembatan sederhana dari bambu untuk memudahkan akses anak-anak mereka saat pergi sekolah

Menurutnya, hal itu sudah mereka alami selama puluhan tahun. Sungai ini merupakan titik batas antara Desa Benteng Pau dan Desa Golo Wuas di Elar Selatan.

“Ini sudah jadi nasib kami berpuluh tahun. Setiap tahun kami selalu bangun jembatan sederhana dari bambu agar anak-anak kami bisa ke sekolah,” ucapnya.

Dia berharap pemerintah daerah, provinsi, dan pusat agar dapat membangun jembatan di desa tersebut untuk memudahkan akses para siswa maupun warga.(*)

Sumber (*/tim)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *