PDI Perjuangan Nilai Gelar Pahlawan Soeharto Abaikan Sejarah Kelam
- account_circle melihatindonesia
- calendar_month 3 jam yang lalu
- visibility 6
- comment 0 komentar

Politikus PDI Perjuangan itu menegaskan bahwa gelar Pahlawan Nasional merupakan penghargaan moral tertinggi negara yang seharusnya diberikan kepada tokoh tanpa catatan kelam dalam sejarah bangsa.
Jakarta | Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI, Andreas Hugo Pareira, menilai pemerintah telah mengabaikan aspirasi masyarakat yang menolak penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto.
Ia menilai keputusan tersebut bertentangan dengan semangat reformasi dan tidak mempertimbangkan catatan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) pada masa Orde Baru.
Menurut Andreas, gelombang penolakan dari masyarakat seharusnya menjadi bahan pertimbangan serius sebelum pemerintah menetapkan keputusan itu.
Ia menyesalkan bahwa berbagai suara keberatan yang datang dari kelompok masyarakat sipil dan korban pelanggaran HAM seolah diabaikan.
“Sudah berapa banyak penolakan dari kelompok masyarakat bahkan dari rakyat Indonesia sendiri terhadap pemberian gelar pahlawan bagi Soeharto. Tapi pemerintah seperti tuli dan mengabaikan,” ujarnya, Senin, 10 November 2025.
Politikus PDI Perjuangan itu menegaskan bahwa gelar Pahlawan Nasional merupakan penghargaan moral tertinggi negara yang seharusnya diberikan kepada tokoh tanpa catatan kelam dalam sejarah bangsa.
Ia menilai, pemberian gelar kepada Soeharto justru berpotensi membuka luka lama bagi korban dan keluarga yang terdampak pelanggaran HAM di masa lalu.
“Pemerintah seharusnya mendengarkan aspirasi masyarakat, bukan justru menutup telinga terhadap kritik dan sejarah kelam bangsa,” tambah Andreas.
Ia juga mengingatkan bahwa semangat reformasi yang lahir setelah tumbangnya rezim Orde Baru pada 1998 seharusnya menjadi pijakan moral dalam menentukan siapa yang layak mendapat gelar Pahlawan Nasional.
Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto resmi menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto dalam upacara Hari Pahlawan di Istana Negara pada 10 November 2025.
Keputusan ini memicu pro dan kontra di publik, terutama dari kalangan aktivis HAM, akademisi, dan tokoh reformasi yang menilai langkah tersebut sebagai kemunduran dalam upaya menjaga memori kolektif bangsa atas sejarah kelam masa lalu.(*)
- Penulis: melihatindonesia
- Editor: Roni Banase
Saat ini belum ada komentar