Kelor pun dianggap efektif karena bernutrisi tinggi atau highly nutrition karena mengandung vitamin C, 7 kali lebih tinggi dari jeruk, kalsium 17 kali lebih tinggi dari susu, dan protein 9 kali lebih tinggi dari yoghurt.
Denpasar | Hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) menunjukkan bahwa prevalensi stunting Indonesia tahun 2024 adalah 19,8%. Angka ini lebih rendah 0,3% poin dari target prevalensi stunting yang ditetapkan untuk tahun 2024 yaitu 20,1%.
SSGI juga mengukur capaian indikator intervensi gizi spesifik dan sensitif, serta memberikan data untuk menyusun kebijakan dan program perbaikan gizi yang lebih efektif. Capaian tahun 2024 memberi angin segar bagi pencapaian target penurunan angka stunting nasional menjadi 14,2% pada tahun 2029, sesuai dengan target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN. Dari angka 21,5% di 2023, untuk dapat turun ke angka 14,2% di 2029, ini artinya Indonesia masih harus menurunkan sekitar 7,3% poin dalam lima tahun ke depan.
Sementara target penurunan stunting pada 2025 adalah 18,8 persen yang mana membutuhkan upaya lebih keras dan kolaborasi lebih erat, terutama di enam provinsi dengan jumlah balita stunting terbesar, yaitu Jawa Barat (638.000 balita), Jawa Tengah (485.893 balita), Jawa Timur (430.780 balita), Sumatera Utara (316.456 balita), Nusa Tenggara Timur (214.143 balita), dan Banten (209.600 balita).
Paparan ahli : khasiat kelor bagi ibu hamil dalam mencegah stunting
Stunting masih menjadi krisis nasional, namun kelor tumbuh melimpah dan harganya terjangkau. Kelor secara signifikan meningkatkan kadar hemoglobin ibu selama kehamilan. Anak-anak dari ibu yang mengonsumsi kelor cenderung tidak mengalami stunting dan lebih jarang mengalami infeksi.
Suplementasi kelor juga meningkatkan berat badan pada bayi yang lahir. Masalah besar tidak membutuhkan biaya besar, cukup solusi lokal, berkelanjutan, dan berbasis masyarakat. Demikian dipaparkan oleh Spesialis Kebidanan & Kandungan, dr. Andree Hartanto, Sp.OG. pada sesi Kongres Obstetri dan Ginekologi Indonesia (KOGI) ke-19 dihelat pada 17–23 Juli 2025 di Bali.
Dipaparkan dr. Andre Hartanto, peneliti utama dalam presentasinya di hadapan ratusan dokter spesialis obstetri dan ginekologi dari seluruh Indonesia, menyebutkan sebuah studi systematic review komprehensif menunjukkan bahwa konsumsi kelor (Moringa oleifera) oleh ibu hamil secara langsung menurunkan angka kejadian stunting pada anak yang dilahirkan. Tak hanya itu, kelor pun dianggap efektif karena bernutrisi tinggi atau highly nutrition karena mengandung vitamin C 7 kali lebih tinggi dari jeruk, kalsium 17 kali lebih tinggi dari susu, dan protein 9 kali lebih tinggi dari yoghurt.
“Kelor ini diterapkan kepada ibu hamil mulai usia kehamilan 6—7 bulan diberikan selama tiga bulan dan diukur tingkat hemoglobin pasien ibu hamil didapatkan peningkatan hemoglobin dan berat badan bayi lahir meningkat dengan selisih lebih dari 300 gram dan angka stunting lebih turun,” beber dokter Andre.

Keberhasilan ini didasari oleh temuan bahwa intervensi kelor selama kehamilan menunjukkan efek baik dibandingkan dengan ibu yang tak mengonsumsi kelor.
“Ini menunjukkan efek baik,” tukas dokter Andre.
Temuan monumental ini telah mendapatkan pengakuan luas setelah dipresentasikan dalam forum ilmiah tertinggi, Kongres Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI), di Bali.
Penelitian tinjauan sistematis tersebut secara teliti menganalisis berbagai studi berkualitas. Hasilnya konsisten dan bermakna secara ilmiah: kelompok ibu hamil yang mengonsumsi kelor tidak hanya terhindar dari anemia dan melahirkan bayi dengan berat badan lebih tinggi, tetapi prevalensi stunting pada bayi-bayi tersebut juga terbukti menurun dibandingkan kelompok kontrol.
“Ini adalah bukti ilmiah yang sangat kuat. Kita berhasil menunjukkan bahwa intervensi gizi yang tepat sasaran selama kehamilan dapat secara langsung menurunkan angka stunting. Kita memotong akar masalahnya,” papar dokter Andre.
Pengakuan di Kongres POGI menjadi stempel validasi yang krusial, menandakan temuan ini dianggap serius dan relevan secara klinis oleh komunitas medis nasional. Para peneliti dengan jujur menekankan bahwa ini adalah langkah awal yang sangat menjanjikan. Mereka menyatakan untuk memperkuat bukti ini di panggung global, penelitian lanjutan dengan jumlah sampel yang lebih besar, jangka waktu pemantauan yang lebih panjang, dan berskala multinasional menjadi harapan besar di masa depan.
Kendati demikian, temuan ini sudah cukup kuat untuk dianggap sebagai angin segar bagi kebijakan kesehatan nasional. Dengan adopsi temuan ini ke dalam program di tingkat Posyandu, kelor yang mudah dijangkau dan terjangkau berpotensi besar menjadi kunci untuk mempersiapkan Generasi Emas 2045 yang lebih sehat, cerdas, dan bebas stunting.(*)
Sumber (*/tim+ragam)