Menalar Data Koperasi dan Peternakan NTT, Menata Arah Kebijakan
- account_circle Indra Achmad Sofian Souri
- calendar_month 3 jam yang lalu
- visibility 60
- comment 0 komentar

![]()
Oleh: Indra Achmad Sofian Souri
Data yang baik tidak pernah menuntut pembenaran; ia menuntut keberanian untuk dibaca, dipahami, dan ditindaklanjuti. Publikasi Badan Pusat Statistik (BPS) berjudul Analisis Isu Terkini Provinsi Nusa Tenggara Timur 2025 menghadirkan pesan penting tentang arah pembangunan ekonomi rakyat yang tidak boleh diabaikan. Angka-angka yang tersaji mengandung peringatan bahwa arah kebijakan koperasi dan peternakan rakyat perlu dipertajam.
Secara kuantitatif, koperasi di NTT berkembang pesat. Jumlahnya meningkat dari 4.146 unit pada 2018 menjadi 4.295 unit pada 2024, dengan keanggotaan hampir 2,5 juta orang. Capaian ini menunjukkan meningkatnya kesadaran akan pentingnya ekonomi kolektif. Namun statistik tidak berhenti pada jumlah. Ironisnya, perkembangan ini belum berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan. Pada 2025, tingkat kemiskinan NTT masih memprihatinkan di 18,60 persen, tertinggal jauh dari rata-rata nasional (8,47 persen). Indeks Pembangunan Manusia (IPM) pun berada pada taraf 67,39, jauh pula di bawah capaian nasional (74,20). Hal ini tidak dapat terus-menerus dijelaskan dengan alasan geografis, keterpencilan, atau keterbatasan sumber daya. Fenomena tersebut menuntut evaluasi atas efektivitas instrumen kebijakan ekonomi yang selama ini dijalankan.
Nyatanya, polemik justru muncul ketika data dianalisis lebih dalam. Rata-rata rasio anggota koperasi terhadap penduduk NTT hanya 0,24, dengan median 0,19. Artinya, hanya 19 dari 100 penduduk yang tercatat sebagai anggota koperasi. Kesenjangan antardaerah pun cukup lebar; sebagian besar kabupaten/kota memiliki rasio rendah, berkisar 7 hingga 24 persen dari total penduduk. Kondisi ini menunjukkan bahwa angka partisipasi koperasi relatif rendah dan belum merata secara sosial maupun spasial.
Lebih jauh, korelasi antara keanggotaan koperasi dan peningkatan kualitas hidup tergolong lemah. Hubungan dengan IPM hanya 0,17; sementara kaitannya dengan indikator pendidikan nyaris tidak terlihat. Hal ini mengindikasikan bahwa pertumbuhan koperasi belum cukup berdampak terhadap pendidikan sebagai dimensi pembangunan manusia. Meski terdapat korelasi dengan penurunan kemiskinan, hubungan tersebut tidak konsisten antardaerah. Terdapat daerah dengan rasio keanggotaan koperasi relatif tinggi, namun kemiskinan pun tetap tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa angka partisipasi koperasi belum berbanding lurus dengan perbaikan ekonomi.
Inkonsistensi ini mencerminkan terbatasnya peran koperasi dalam meningkatkan kesejahteraan. Perkembangan koperasi masih lebih menekankan kuantitas ketimbang dampak. Koperasi NTT banyak berkembang sebagai lembaga yang berfokus pada penyaluran kredit. Belum menjadi instrumen transformasi struktural bagi produktivitas, akses pasar, dan pengentasan kemiskinan. Akibatnya, pertumbuhan jumlah koperasi belum menghasilkan inklusi sosial-ekonomi yang lebih berarti.
Masalah utamanya bukan terletak pada koperasi sebagai konsep ekonomi kerakyatan, melainkan pada cara kebijakan memperlakukannya. Koperasi kerap diposisikan sebagai capaian administratif—dibentuk, didaftarkan, dan dihitung—tanpa diiringi upaya serius agar berdampak nyata bagi kesejahteraan. Selama kebijakan lebih sibuk mengejar jumlah unit aktif dibandingkan kualitas, fungsi, dan manfaatnya, koperasi akan terus tumbuh secara administratif. Namun perannya sebagai penguat sosial ekonomi belum sepenuhnya terwujud.
Kekeliruan cara pandang ini menjelaskan mengapa pertumbuhan koperasi di NTT kerap berhenti pada kuantitas. Koperasi belum menjelma menjadi kekuatan yang mampu mengubah struktur ekonomi anggotanya. Ketika koperasi tak terintegrasi dengan sektor produktif, keberadaannya terlepas dari denyut ekonomi masyarakat. Di Nusa Tenggara Timur, aktivitas ekonomi riil masyarakat salah satunya bersumber dari sektor peternakan rakyat. Karena itu, tidak menempatkan koperasi sebagai pengungkit sektor ini bukan hanya persoalan kelembagaan, melainkan juga persoalan arah kebijakan pembangunan. Nyatanya, koperasi yang seharusnya menjadi pilar ekonomi kerakyatan ini belum sepenuhnya ditempatkan sebagai katalisator perbaikan kesenjangan, padahal sektor peternakan pada 2024 menyumbang 10,72 persen terhadap PDRB NTT.
Selama koperasi tidak terhubung secara fungsional dengan sektor produktif, maka perannya berhenti pada fungsi administratif, bukan pada penguatan kesejahteraan. Data sektor peternakan perorangan mempertegas persoalan tersebut. Sebanyak 93 persen unit usaha peternakan di NTT dikelola secara perorangan dan mayoritas berorientasi jual. Namun, lebih dari separuhnya (56,25 persen) belum mampu merealisasikan penjualan dan masih bergantung pada pola usaha subsisten. Struktur produksi didominasi oleh ternak hidup—terutama babi dan sapi potong—dengan beban relatif besar pada pakan dan tenaga kerja keluarga.
Fenomena ini menciptakan paradoks di mana daerah dengan basis peternakan kuat dan jumlah unit usaha besar, serta memiliki banyak koperasi, tidak selalu diikuti tingkat kesejahteraan yang tinggi. Ini menunjukkan bahwa keunggulan peternakan dan bertumbuhnya koperasi belum mendongkrak kesejahteraan rakyat. Tantangan geografis dan keterbatasan akses memang memperberat keadaan, tetapi masalah utamanya terletak pada belum tajamnya intervensi kebijakan. Tanpa perubahan arah, kesenjangan kesejahteraan di NTT akan terus menjadi beban, bahkan ketika potensi ekonomi sebenarnya cukup besar untuk dikembangkan.
Peternakan seyogianya mampu menjadi denyut ekonomi NTT sebagaimana digaungkan, namun data menunjukkan bahwa perbedaan keuntungan antarjenis ternak secara statistik terbukti signifikan. Profitabilitas usaha peternakan sangat bergantung pada jenis ternak dan pola usaha, di mana sebagian peternak lebih beruntung dibandingkan yang lain, meskipun sama-sama dikategorikan sebagai “peternak rakyat”. Pada sisi lain, meskipun tingkat profitabilitas relatif tinggi pada ternak besar, namun tergolong rapuh karena minim pengolahan turunan, terbatasnya akses pasar, dan lemahnya ketahanan jika tiba-tiba terjadi kenaikan harga pakan.
Dari sini, arah rekomendasi kebijakan koperasi dan peternakan rakyat di NTT semakin jelas dan butuh penanganan yang lebih presisi serta berbasis data. Pertama, pemangku kebijakan perlu menggeser indikator keberhasilan koperasi dari kuantitas ke dampak sosial. Evaluasi koperasi tidak lagi cukup berbasis jumlah unit dan anggota. Penilaian harus mengukur kontribusi nyata terhadap penurunan kemiskinan, peningkatan pendapatan, dan akses terhadap layanan dasar. Ini menuntut integrasi data koperasi dengan indikator kesejahteraan daerah secara menyeluruh.
Kedua, diferensiasi koperasi berbasis fungsi dan wilayah. Tidak semua koperasi harus diperlakukan sama. Koperasi simpan pinjam, koperasi produksi, dan koperasi sektor peternakan serta sektor riil lainnya memiliki kebutuhan dan potensi yang berbeda. Di kabupaten dengan kemiskinan tinggi, koperasi seyogianya bukan entitas usaha semata, namun diarahkan sebagai instrumen perlindungan sosial dan pemberdayaan ekonomi kelompok rentan.
Ketiga, penguatan tata kelola dan kapasitas manajerial koperasi menjadi prioritas anggaran, bukan pelengkap program. Data menunjukkan bahwa keberadaan koperasi tanpa kapasitas manajemen yang memadai tidak berdampak signifikan bagi kesejahteraan. Investasi pada penguatan fungsi koperasi, digitalisasi, dan transparansi keuangan akan jauh lebih efektif dibandingkan pembentukan koperasi baru tanpa landasan kebijakan. Intervensi dapat berupa revitalisasi koperasi melalui perda khusus dengan mengalokasikan APBD 2026-2030 untuk menginkubasi sejumlah koperasi di kabupaten-kabupaten dengan kondisi jumlah koperasi dan partisipasi keanggotaan rendah, IPM rendah, namun angka kemiskinan tinggi.
Keempat, kebijakan peternakan rakyat perlu berbasis segmentasi ekonomi usaha. Temuan tentang perbedaan profit antarjenis ternak perlu diterjemahkan menjadi kebijakan yang relevan, semisal jenis ternak tertentu memerlukan dukungan akses pakan, jenis lain membutuhkan penguatan pasar atau manajemen pascaproduksi. Dalam hal ini, pendekatan satu program untuk seluruh kondisi tidak lagi sepadan.
Kelima, sinergi koperasi dan peternakan diformalkan dalam kebijakan lintas sektor. Koperasi tidak boleh berdiri sendiri, terpisah dari strategi pengembangan peternakan dan sektor riil lainnya. Sebaliknya, koperasi harus didorong menjadi simpul rantai nilai, mulai dari pembiayaan, produksi, hingga pemasaran. Tanpa integrasi ini, koperasi akan tetap menjadi aktor pinggiran dalam perekonomian.
Data dalam Publikasi Analisis Isu Terkini Provinsi Nusa Tenggara Timur 2025 telah menjalankan fungsinya dengan jujur. Ia menunjukkan harapan besar terhadap koperasi dan peternakan rakyat di NTT. Kini, keputusan berada di tangan para perumus kebijakan. Apakah statistik akan terus menjadi laporan tahunan yang dibaca sekilas dalam seremonial, atau beralih menjadi dasar koreksi kebijakan yang berani dan terukur, secara regional maupun spasial?
Dalam konteks ini pula, kehadiran gagasan “Koperasi Merah Putih” semestinya dinalar bukan sebagai solusi instan, melainkan sebagai ujian serius bagi konsistensi arah pembangunan. Tanpa koreksi paradigma, Koperasi Merah Putih berisiko mengulang pola lama: kuat pada simbol dan nomenklatur, tetapi lemah dalam dampak.
Lebih jauh, jika koperasi tidak dirancang berbasis diferensiasi wilayah dan sektor, maka ia akan sulit menjawab masalah nyata yang terungkap dalam data. Sektor riil NTT menuntut koperasi berfungsi sebagai sumber pemberdayaan masyarakat, produktivitas dan perluasan akses pasar. Tanpa integrasi kebijakan antara koperasi, peternakan, sektor riil lainnya, dan pembangunan manusia, maka Koperasi Merah Putih berisiko menjadi tambahan entitas administratif baru, bukan katalis transformasi ekonomi kerakyatan yang selama ini dinantikan.
Pembangunan yang efektif tidak lahir dari optimisme kosong, melainkan dari keberanian mengakui keterbatasan dan memperbaikinya. NTT tidak kekurangan potensi; yang dibutuhkan adalah kebijakan yang lebih presisi, lebih berbasis data, dan lebih berpihak pada dampak nyata. Statistik sudah berbicara. Saatnya kebijakan menjawab dengan tindakan yang setara.(*)
- Penulis: Indra Achmad Sofian Souri











Saat ini belum ada komentar